Minggu, 03 Mei 2009

LET’S TALK ABOUT MARRIED

Written by Syofian Hadi

“Pak Hadi sudah berkeluarga?”, “Di, sudah menikah belum?”.
Dulu, bila ada pertanyaan dilontarkan seperti itu yang saya merasa biasa-biasa saja. Tapi belakangan kok makin sering ya? Apakah saya sudah tampak seperti bapak-bapak? Apa saya tampak seperti orang kesepian dan gelisah? Apa ini sudah waktunya?. Belum lagi ungkapan-ungkapan dari teman-teman seperti “Hari gini masih jomblo? Nikah dunk!”, “Makan sendirian? Kasian deh lo!”, “Malem minggu sendirian? Ngapel dunk ma istri!”, “Di, alhamdulillah saya sekarang sudah jadi Ayah, kamu kapan nyusul”. Hufff, terkadang saya sempat su’udzon seakan-akan mereka sedang menyindir saya. Saya hanya bisa mengamini. Niat sudah ada, persiapan? Nah, itu dia.

Belakangan juga ada beberapa teman -yang sebelumnya sempat meminjam buku-buku saya seperti Kado Pernikahan untuk Istriku – Fauzil Adhim, Pernikahan Dini – Abu Al-Ghifari, Nikah Dini Kereeeeeen! – Haekal Siregar, Jangan Telat Menikah – Riyadh Al-Muhaisin, Aku Ingin Menikah, Tapi…. – Salman bin Zhafir, dan beberapa buku lainnya- ‘curhat’ kalau mereka ingin segera menikah, ada yang sudah masuk proses ta’aruf, lamaran, bahkan sudah ada yang menyebar undangan. Alhamdulillah. Tapu benak saya bertanya-tanya, “Lho, ini kok pada bicara nikah semua ya?”.

Ketika saya membuka www.eramuslim.com empat hari yang lalu, halaman depannya pun ada yang berjudul MARI KITA BICARA TENTANG MENIKAH. Glek, kok nikah lagi? Saya benar-benar tidak sengaja, padahal niat saya adalah ingin mengikuti berita terbaru mengenai saudara-saudara kita di Palestina. Tetapi bola mata saya tertuju pada judul artikel tersebut, tangan saya menarik mouse dan jari telunjuk mengkliknya. Nah, ini baru benar-benar bicara soal nikah. Isinya bagus sekali, bisa jadi referensi. Bu Siti Aisyah Nurmi, boleh ya saya copy, semoga ibu dan eramuslim berkenan. Semoga bisa bermanfaat buat saya dan teman-teman yang membacanya. So, let’s talk about married!

Mari kita bicara tentang MENIKAH (1)
Menikah merupakan sunnah Nabi Muhammad SAW. Menikah juga merupakan sebuah peristiwa sosial dan masa inisiasi bagi anak manusia dalam proses kedewasaannya. Seseorang menunda menikah karena berbagai alasan. Di masa dimana dekadensi moral semarak, seharusnya pernikahan semakin disegerakan. Namun ternyata yang terjadi adalah sebaliknya.

Mengapa belum siap menikah?
Dewasa ini, jika ada seseorang ditanya apakah sudah siap menikah?
Banyak yang menjawab dengan standar-standar materiel atau kebendaan: Kalau sudah punya pekerjaan, kalau sudah punya tabungan, kalau sudah punya rumah dan lain sebagainya. Apakah itu semua memang hal-hal terpenting untuk disiapkan oleh yang akan menikah? Banyak bujangan yang sudah memiliki itu semua bahkan sudah dalam jumlah dan kualitas materiel yang lebih dari cukup, ternyata mengaku masih belum siap menikah.

Jadi apa yang membuat seseorang merasa belum siap menikah?
Kesiapan menikah adalah masalah kesiapan mental.
Menikah merupakan langkah penting yang oleh Nabi SAW dikatakan bernilai ”separuh agama”.
Seorang yang melaksanakan pernikahan akan mengalami berbagai akselerasi dalam kehidupannya sehingga kematangan kepribadiannya-pun dapat lebih cepat terwujud.
Dalam budaya kita bahkan seorang anak yang sudah menikah akan lebih dihargai dalam keluarga besarnya dibanding dengan saudaranya yang belum menikah.

Apakah pemuda memang sebaiknya segera menikah, ataukah sebaiknya menunda hingga ”lebih siap” atau ”lebih matang”?
”Lebih siap” atau ”lebih matang” sangat relatif. Sebagian dari keraguan seseorang untuk melangkah ke jenjang pernikahan sebenarnya disebabkan oleh prasangka-prasangka yang belum tentu benar. Bahkan di perkotaan, usia menikah anak muda semakin lanjut, seolah semakin tinggi pendidikan dan taraf hidup justru semakin ragu untuk menikah.
Mestikah demikian? Mengapa demikian?
Apakah sebenarnya kabut yang menghalangi tersebut?
Mungkin poin-poin di bawah ini perlu direnungi:
Pertama, kepada semua bujang dan gadis. Fahamilah bahwa menikah adalah sunnah Nabi SAW. Dengan pemahaman bahwa menikah adalah sunnah, seharusnya tidak ada lagi yang mengatakan ”tidak suka”, ”tidak mau”, ”gak penting” dan sebagainya. Bahwa jodoh datang dengan waktu yang tak dapat diprediksi, itu hal lain. Mempersiapkan mental untuk menerima pernikahan kadang memang sulit bagi orang-orang tertentu, tapi demi kebaikan dirinya sendiri, sebaiknya tidak usah membenci pernikahan. Umumnya yang menolak pernikahan dengan keras memang pernah punya trauma atas kasus-kasus pernikahan yang pernah dilihatnya. Sebagian lagi menunda-nunda pernikahan karena terkena berbagai prasangka tadi. Ada pemuda yang khawatir tak dapat memberi makan istri dan anak, ada juga pemudi yang enggan melangkah ke jenjang pernikahan karena khawatir pendidikannya terganggu. Tak mungkin Nabi Saw yang mulia mencontohkan sesuatu yang tidak baik bagi kita.

Kedua, bagi para bujang dan gadis, setelah memahami kedudukan menikah dalam Islam, maka kenalilah diri sendiri. Berada di titik manakah anda? Secara umum menikah adalah sunnah Nabi SAW yang sangat dianjurkan bahkan nyaris wajib. Namun dalam penerapan hukumnya, kadang seseorang pada suatu saat dapat dikatagorikan sudah wajib menikah, sunnah (lebih baik) jika segera menikah, atau kurang baik jika menikah segera atau bahkan mungkin juga seseorang pada saat tertentu dianggap tidak baik atau haram menikah. Maka kenalilah anda termasuk yang mana.
Jika anda sudah sering merasa terganggu dengan celotehan tentang menikah, jika anda termasuk syahwat tinggi, jika anda sudah cukup matang dan siap dan lain-lain lagi...maka ada kemungkinan anda sudah wajib menikah. Jika anda senang dengan pembicaraan tentang menikah, sudah cukup matang dan tak ada halangan lain selain belum ketemu jodohnya, atau jika anda termasuk penyayang dan lain-lain, maka anda bisa jadi termasuk lebih baik cepat menikah. Namun jika anda berjiwa labil sementara anda pria, dan anda sering emosi tak menentu seperti anak kecil untuk hal kecil, egois, dan lain-lain sebab...mungkin anda sebaiknya memperbaiki diri dulu sebelum mengajak orang lain hidup bersama anda.

Ketiga, kepada para bujang dan gadis, perluaslah wawasan dan informasi YANG BENAR tentang pernikahan. Jangan bertanya tentang pernikahan kepada orang-orang yang mempunyai pengalaman pernikahan yang pahit. Pengalaman seseorang tidak mesti akan dialami oleh semua orang. Bahkan setiap pengalaman buruk sebenarnya dapat dianalisa. Dan yang paling penting, berdoalah agar pengalaman buruk orang lain tak terjadi pada diri kita.
Mencari informasi juga dapat dilakukan dengan membaca berbagai buku terkait. Jika dalam buku-buku tersebut ditemukan berbagai pengalaman indah atau berbagai harapan indah tentang pernikahan, maka yakinilah hal ini: Hidup tak selalu ”taman bunga”, ada masa indah, tapi ada masa sulit. Sikap positif dan realistik Insya Allah akan bermanfaat dalam menghadapi ujian maupun nikmat hidup ini. Sebaliknya jika mendapatkan informasi yang menciutkan hati, hendaknya selalu memasang sikap optimis dan tawakkal pada Allah SWT, Insya Allah selamat.

Keempat: bagi para bujang dan gadis: Carilah informasi sebanyak-banyaknya tentang tugas dan kewajiban masing-masing pihak dalam pernikahan. Semakin banyak yang kita ketahui semestinya membuat kita semakin siap melangkah. Namun harus difahami juga bahwa selalu ada proses adaptasi atau peralihan. Proses adalah sunnatullah, segala sesuatu ada prosesnya, dan adaptasi juga merupakan sunnatullah dalam hidup.

Kelima: bagi para orangtua bujang dan gadis: Permudahlah pernikahan putra-putri anda. Sesuai dengan perintah Allah SWT dalam Al Qur’an yang berbunyi: Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. (QS 24:32).
Dengan adanya perintah yang demikian jelas, tak ada alasan bagi para orangtua ketika jodoh sudah datang bagi anak-anaknya ia masih saja menunda-nunda pelaksanaan pernikahan mereka.

Setelah merenungi poin-poin tersebut, coba tanyakan lagi pada diri anda: sudah siapkah?

-Jawabku: Yes, I’m ready, I’ll make it soon! But not now. (ohw, is it called ready?)
Eeeiit..ternyata masih ada halaman berikutnya. Check this out!

Mari kita bicara tentang MENIKAH (2)

Bicara tentang MENIKAH, seringkali orang hanya mengasosiasikannya dengan kebutuhan individu, urusan pribadi, atau paling jauh urusan keluarga besar si calon pengantin. Padahal, pernikahan yang sah dan suci merupakan salah satu tiang penopang kesucian masyarakat. Bahkan pernikahan sah dan suci merupakan hajat dari masyarakat itu sendiri.

-Perkawinan sebagai kemaslahatan sosial
Bicara tentang MENIKAH, seorang ulama pakar Pendidikan Anak dalam Islam Dr Abdullah Nashih Ulwan berpendapat bahwa menikah dapat dikatakan sebagai kemaslahatan sosial.
Pertama, Menikah melindungi kelangsungan species manusia.
Allah SWT Sendiri Yang telah menjelaskan dalam Kitab-Nya:
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya; dan daripada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. (QS AnNisa ayat 1)

Dan juga di ayat lain pada Kitab yang sama:
“Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari ni`mat Allah?" (QS An Nahl ayat 72)

Sepertinya sisi manfaat yang ini agak kurang dibahas secara mendalam dalam khutbah-khutbah nikah maupun buku-buku yang menganjurkan menikah. Namun beberpa waktu yang lalu ada berita bahwa sejumlah pria mengajukan permintaan kepada lembaga-lembaga terkait agar mereka diperkenankan mempunyai anak kandung tanpa menikah. Caranya? Ada yang minta dibuatkan bayi tabung dari ibu yang entah siapa (tanpa mau berinteraksi dengan ibu si bayi), ada yang bersedia sewa rahim wanita dan lain-lain. Coba lihat di link ini: http://www.youtube.com/watch?v=XafVKjxA-EM.
Agak mengerikan memang, jika kita melihat perkembangan dunia barat yang semakin hari semakin melucuti fitrah dan berusaha memasang kembali dengan rekaan sendiri. Seolah seperangkat fitrah adalah potongan jigsaw puzzle yang dapat dibongkar pasang semaunya dengan urutan yang berbeda.

Kedua, Perkawinan melindungi keturunan.
Anak yang lahir melalui pernikahan yang sah memiliki suatu rasa aman tersendiri dalam hal status. Meskipun mungkin seseorang tak pernah memikirkan rasa aman ini dalam kehidupannya sehari-hari, namun dampak absennya rasa aman ini justru dapat dilihat pada anak-anak yang lahir dengan asal-usul yang dirahasiakan ibunya. Menurut Abdullah Nashih Ulwan: “Sekiranya tidak ada perkawinan yang disyariatkan Allah, niscaya masyarakat …….Yang demikian itu adalah yang sangat berat bagi nilai-nilai moralitas yang menyebabkan timbulnya kerusakan dan sikap permisif”[1]

Ketiga, Melindungi masyarakat dari dekadensi moral.
Tersebarnya berbagai kemaksiatan dewasa ini sudah sangat tampak di permukaan. Jika zaman dulu orang masih malu-malu untuk berpacaran di muka umum, semakin tuanya umur dunia ini orang semakin berani memamerkan kemaksiatannya. Sebagian sebab tersebarnya kemaksiatan ini adalah karena dewasa ini lembaga perkawinan sudah semakin diserang oleh perang pemikiran sehingga mulai timbul keengganan kaum muda untuk segera menikah. Pasangan sah yang suci menjadi tidak penting, manakala masyarakat sudah semakin permisif terhadap hubungan di luar nikah, maka lembaga perkawinan semakin dijauhi, dan kerusakan moral semakin sulit dibendung.

Keempat, Melindungi masyarakat dari penyakit.
Sebagaimana dengan yang ketiga tadi, semakin dijauhinya lembaga pernikahan maka masyarakat sebenarnya semakin dirugikan. Berbagai penyakit sudah puluhan tahun dikenali sebagai penyakit akibat hubungan sex bebas. Semakin banyak aktivitas haram ini, maka semakin luas dan banyaknya penyebaran penyakit terkait perilaku sex bebas. Bahkan kemudian bermunculan jenis baru atau varian baru dari penyakit lama. Beberapa varian penyakit bahkan sudah berkembang mematikan dan sulit diobati. Kemudian sudah diketahui bahwa penyakit seperti AIDS yang penyebaran utamanya lewat sex bebas ternyata juga dapat membahayakan keturunan maupun anggota keluarga si sakit. Bukan hanya si pendosa yang terkena dampaknya, tapi juga orang sekeliling.

Kelima, Menumbuhkan ketentraman rohani dan jiwa.
Dengan tegas Allah SWT Menyatakan dalam Al Qur’an sebagai berikut:
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”. (QS Ar Rum 21)

Merasa tentram merupakan janji Allah SWT setelah kita melakukan ketaatan menjalankan syariat Allah yaitu pernikahan sah, yang kemaslahatannya bagi manusia itu sendiri. Bahkan Allah juga Menjadikan rasa sayang dan kasih (Mawaddah dan rahmah) antara dua anak manusia yang semula asing dan tidak bertalian darah, kemudian dipersatukan oleh tali dari Allah SWT. Berapa banyak persoalan masyarakat yang timbul disebabkan oleh keresahan dan kegelisahan satu atau lebih anggota masyarakat?
Jika seseorang gelisah, ia berpotensi menyebabkan orang lain gelisah, ia juga berpotensi membuat orang lain bahkan marah karena tingkah lakunya yang tidak baik. Banyak keburukan yang mungkin timbul yang bersumber dari kegelisahan seseorang yang tak terkendali. Pernikahan memberikan ketentraman ini. Berarti pernikahan telah turut serta secara aktif mengatasi ancaman serius yang mungkin dihadapi masyarakat akibat resahnya seseorang.

Keenam, Kerjasama suami istri mendidik anak sebagai bagian dari tugas sebagai anggota masyarakat.
Dengan mengucapkan janji setia untuk hidup bersama di hadapan Allah Azza wa Jalla, sepasang insan yang menikah telah membangun sebuah komitmen bersama untuk mencetak generasi masa depan. Masyarakat, sebagai sebuah kumpulan sosial, membutuhkan regenerasi para pemain dan pengambil keputusan. Para tokoh hari ini akan menjadi sejarah di masa depan, sementara kanak-kanak hari ini adalah para penggantinya. Kita sudah membahas dalam rubrik ini sebelumnya, tentang pentingnya masa kanak-kanak dalam pembentukan kepribadian yang sehat, maka kita segera sadar betapa pentingnya peran lembaga keluarga dalam merajut masa depan masyarakat tersebut. Dengan melihat betapa pentingnya masa kecil dalam membentuk kepribadian yang sehat, maka keluarga yang baik dengan ayah dan ibu yang bekerjasama mendidik anak-anaknya adalah elemen penting sebuah masyarakat.
Di dalam pernikahan yang suci juga akan tumbuh fitrah rasa kebapakan dan fitrah rasa keibuan pada diri pasangan suami istri tersebut saat mereka mulai dikaruniai amanah anak.
Begitulah, ternyata menikah bukan hanya urusan pribadi, tetapi juga urusan masyarakat. Semakin tertibnya suatu masyarakat dalam penataan keluarga maka semakin baik pula keadaan masyarakat itu sendiri. Anak-anak terdidik dengan baik di keluarga-keluarga yang baik, para bapak merasa tentram dalam pernikahannya dan demikian juga para istri. Para pemuda yang sudah sanggup menikah segera menikah tanpa beban mental karena masyarakat mendukung sepenuhnya, sementara para pemudi aman dari keisengan pemuda jalang sebab masyarakat ini tidak memilikinya. Penyakit menular akibat hubungan sex bebas tak menghantui masyarakat, generasi muda terhindar dari penyakit-penyakit berbahaya.

Pada gilirannya, generasi pengganti yang lahir adalah generasi yang sehat, berkepribadian kuat dan akhlaq mulia. Baldatun Thoyyibatun wa Robbun Ghofur, Insya Allah.

[1] Pendidikan Anak Dalam Islam, Dr Abdullah Nashih Ulwan, hal 7, Pustaka Amani Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas kunjungan dan komentar Anda. Tolong tinggalkan alamat e-mail, blog atau website Anda.